1. Pengertian Makna Hakiki dan Majaz
a) Makna Hakiki
Kata Hakiki dari asal kata hakikat yang ditambah ya’ nisbat berarti lafad yang digunakan dalam makna yang sebenarnya sesuai dengan yang ditunjukkan harfiahnya.[1] Sedangkan apabila disambung dengan kata ‘makna’ menjadi satu kesatuan, makna hakiki berarti makna (arti) yang dimaksud adalah makna yang sebenarnya sesuai dengan harfiahnya. Contoh, perkataan seseorang “singa itu makan”. Singa di sini yaitu (hewan) singa, bukan yang lain. Berbeda apabila singa yang dimaksud itu adalah seorang pemberani, maka yang demikian itu sudah bukan makna hakiki lagi melainkan makna majazi.
b) Makna Majazi
Kata majaz berarti lafad yang digunakan dalam makna yang bukan seharusnya karena adanya hubungan (‘alaqah) disertai karinah (hal yang menunjukkan dan menyebabkan bahwa lafad tertentu menghendaki pemaknaan yang tidak sebenarnya) yang menghalangi pemakaian makna hakiki. Seperti contoh, “singa itu berpidato” dengan maksud “si pemberani (yang seperti singa) itu berpidato. Hubungan yang dimaksud terkadang karena adanya keserupaan dan ada pula karena faktor yang lain. Sedangkan karinah ada kalanya lafdiyah (karinah itu terdapat dalam teks, tertulis) dan ada pula haliyah (karinahnya tidak tertulis, berdasarkan pemahaman saja).[2]
Majaz terbagi menjadi empat. Atara lain, majaz Mufrad Mursal, Mufrad Isti’arah, Murakkab Mursal dan Murakkab Isti’arah.
Majaz mursal adalah kata yang digunakan bukan dalam maknanya yang asli karena ada hubungan (makna asli dan makna majazi) selain keserupaan serta ada karinah yang menghalangi pemahaman dengan makna asli. Hubungan dalam majaz mursal ini ada kalanya al-sababiyah, al-musabbabiyah, al-kulliyah, al-juz’iyah, i’tibaru ma kana, i’tibaru ma yakunu, al-mahally, al-haliyah dan seterusnya.[3]
Hubungan al-sababiyah dapat terlihat dalam perkataan al-Mutanabbi berikut,
a) Makna Hakiki
Kata Hakiki dari asal kata hakikat yang ditambah ya’ nisbat berarti lafad yang digunakan dalam makna yang sebenarnya sesuai dengan yang ditunjukkan harfiahnya.[1] Sedangkan apabila disambung dengan kata ‘makna’ menjadi satu kesatuan, makna hakiki berarti makna (arti) yang dimaksud adalah makna yang sebenarnya sesuai dengan harfiahnya. Contoh, perkataan seseorang “singa itu makan”. Singa di sini yaitu (hewan) singa, bukan yang lain. Berbeda apabila singa yang dimaksud itu adalah seorang pemberani, maka yang demikian itu sudah bukan makna hakiki lagi melainkan makna majazi.
b) Makna Majazi
Kata majaz berarti lafad yang digunakan dalam makna yang bukan seharusnya karena adanya hubungan (‘alaqah) disertai karinah (hal yang menunjukkan dan menyebabkan bahwa lafad tertentu menghendaki pemaknaan yang tidak sebenarnya) yang menghalangi pemakaian makna hakiki. Seperti contoh, “singa itu berpidato” dengan maksud “si pemberani (yang seperti singa) itu berpidato. Hubungan yang dimaksud terkadang karena adanya keserupaan dan ada pula karena faktor yang lain. Sedangkan karinah ada kalanya lafdiyah (karinah itu terdapat dalam teks, tertulis) dan ada pula haliyah (karinahnya tidak tertulis, berdasarkan pemahaman saja).[2]
Majaz terbagi menjadi empat. Atara lain, majaz Mufrad Mursal, Mufrad Isti’arah, Murakkab Mursal dan Murakkab Isti’arah.
Majaz mursal adalah kata yang digunakan bukan dalam maknanya yang asli karena ada hubungan (makna asli dan makna majazi) selain keserupaan serta ada karinah yang menghalangi pemahaman dengan makna asli. Hubungan dalam majaz mursal ini ada kalanya al-sababiyah, al-musabbabiyah, al-kulliyah, al-juz’iyah, i’tibaru ma kana, i’tibaru ma yakunu, al-mahally, al-haliyah dan seterusnya.[3]
Hubungan al-sababiyah dapat terlihat dalam perkataan al-Mutanabbi berikut,
له أيّاد عليّ سابغة أعدّ منها ولاأعدّدها
“ia mempunyai tangan-tangan yang berlimpah padaku, dan
diriku ini merupakan bagian darinya, aku tidak kuasa menghitungnya.”
Kata ayyad dalam ungkapan ini bermakna majaz yaitu kenikmatan-kenikmatan yang banyak, bukan makna tangan secara hakiki. Hubungan yang seperti ini adalah hubungan ‘sebab’. Ketahuilah bahwa tangan (makna hakiki) adalah alat untuk menyampaikan beberapa kenikmatan. Jadi, tangan itu merupakan sebab bagi kenikmatan tersebut.
Hubungan al-musabbab ada pada pada contoh ayat,
Kata ayyad dalam ungkapan ini bermakna majaz yaitu kenikmatan-kenikmatan yang banyak, bukan makna tangan secara hakiki. Hubungan yang seperti ini adalah hubungan ‘sebab’. Ketahuilah bahwa tangan (makna hakiki) adalah alat untuk menyampaikan beberapa kenikmatan. Jadi, tangan itu merupakan sebab bagi kenikmatan tersebut.
Hubungan al-musabbab ada pada pada contoh ayat,
وينزّل لكم من السّماء رزقا…….الأية (المؤمن:13)
“dan menurunkan untukmu rezeki dari langit…..(QS. Al-Mu’min:
13)”
Jika dimaknai secara hakiki, maka sesuai dengan lafadnya, yang diturunkan dari langit oleh Allah adalah rezeki, padahal pada kenyataannya bukanlah rezeki melainkan air hujan yang kemudian karenanya tumbuh-tumbuhan menjadi hidup dan menjadi sumber rezeki bagi segenap makhluk. Maka rezeki adalah musabbab atau akibat dari turunnya hujan. Dengan demikian, hubungannya adalah al-musabbabiyah.
Hubungan al-kulliyah terdapat pada firman Allah
Jika dimaknai secara hakiki, maka sesuai dengan lafadnya, yang diturunkan dari langit oleh Allah adalah rezeki, padahal pada kenyataannya bukanlah rezeki melainkan air hujan yang kemudian karenanya tumbuh-tumbuhan menjadi hidup dan menjadi sumber rezeki bagi segenap makhluk. Maka rezeki adalah musabbab atau akibat dari turunnya hujan. Dengan demikian, hubungannya adalah al-musabbabiyah.
Hubungan al-kulliyah terdapat pada firman Allah
وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ ….(نوح: 7)
“Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada
iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke
dalam telinganya…..”
Pada contoh ini, diyakini bahwa seseorang tidak mungkin dapat meletakkan seluruh jarinya di telinganya. Jadi, sekalipun yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah seluruh jari, namun yang dimaksudkan adalah ujung salah satu jarinya. Penggunaan kata-kata tersebut adalah majaz, dan hubungannya adalah kulliyah.
Hubungan al-juz’iyah seperti contoh syair,
Pada contoh ini, diyakini bahwa seseorang tidak mungkin dapat meletakkan seluruh jarinya di telinganya. Jadi, sekalipun yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah seluruh jari, namun yang dimaksudkan adalah ujung salah satu jarinya. Penggunaan kata-kata tersebut adalah majaz, dan hubungannya adalah kulliyah.
Hubungan al-juz’iyah seperti contoh syair,
كم بعثنا الجيش جرّا راوأرسلنا العيونا
“Berkali-kali kami mengutus tentara dalam jumlah besar dan
kami melepaskan banyak mata-mata”
Kata al-‘uyun dalam contoh ini maksudnya adalah mata-mata (makna majaz). Hubungannya adalah bahwa mata-mata adalah hanya suatu bagian, namun yang dimaksud adalah keseluruhan dari orang yang ditugaskan untuk memata-matai itu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hubungannya adalah juz’iyah.
Adapun contoh hubungan i’tibaru ma kana antara makna hakiki dan majazi suatu lafad yaitu firman Allah yang berbunyi,
Kata al-‘uyun dalam contoh ini maksudnya adalah mata-mata (makna majaz). Hubungannya adalah bahwa mata-mata adalah hanya suatu bagian, namun yang dimaksud adalah keseluruhan dari orang yang ditugaskan untuk memata-matai itu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hubungannya adalah juz’iyah.
Adapun contoh hubungan i’tibaru ma kana antara makna hakiki dan majazi suatu lafad yaitu firman Allah yang berbunyi,
وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ ….(النّساء: 2)
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh)
harta mereka….(QS. Al-Nisa’: 2)”
Sebagaimana dipahami bersama bahwa anak yatim menurut bahasa adalah anak kecil yang ayahnya meninggal. Dengan begitu, apakah harta peninggalan ayahnya akan dipasrahkan kepada anak yatim yang masih kecil (sesuai dengan lafad ayat)? Tentu tidak, akan tetapi, yang benar adalah Allah memerintahkan untuk memberikan harta itu kepada anak yatim yang telah mencapai usia dewasa. Jadi, penggunaan kata yatama pada ayat di atas adalah majaz karena maksud yang sebenarnya adalah orang-orang yang justru telah meninggalkan usia yatimnya. Hubungan antara kedua makna ini adalah i’tibar ma kana (mempertimbangkan apa yang telah berlalu).
Untuk hubungan i’tibaru ma yakunu bisa dilihat pada contoh ayat,
Sebagaimana dipahami bersama bahwa anak yatim menurut bahasa adalah anak kecil yang ayahnya meninggal. Dengan begitu, apakah harta peninggalan ayahnya akan dipasrahkan kepada anak yatim yang masih kecil (sesuai dengan lafad ayat)? Tentu tidak, akan tetapi, yang benar adalah Allah memerintahkan untuk memberikan harta itu kepada anak yatim yang telah mencapai usia dewasa. Jadi, penggunaan kata yatama pada ayat di atas adalah majaz karena maksud yang sebenarnya adalah orang-orang yang justru telah meninggalkan usia yatimnya. Hubungan antara kedua makna ini adalah i’tibar ma kana (mempertimbangkan apa yang telah berlalu).
Untuk hubungan i’tibaru ma yakunu bisa dilihat pada contoh ayat,
إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ وَلا يَلِدُوا إِلا فَاجِرًا كَفَّارًا (نوح: 27)
“sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka
akan menyesatkan hamba-hambaMu dan mereka tidak akan melahirkan selain anak
yang berbuat maksiat lagi sangat kafir. (QS. Nuh: 27).”
Kata Fajiran Kaffaran dalam ayat ini adalah majaz karena anak yang baru dilahirkan itu tidak bisa melakukan maksiat dan tidak dapat berbuat kekufuran, tetapi mungkin akan melakukan yang demikian setelah masa kanak-kanak. Jadi yang diucapkan adalah anak yang maksiat, namun yang dimaksud adalah orang dewasa yang maksiat. Hubungannya adalah i’tibar ma yakunu (mempertimbangkan sesuatu yang akan terjadi).
Contoh hubungan al-mahally yaitu,
Kata Fajiran Kaffaran dalam ayat ini adalah majaz karena anak yang baru dilahirkan itu tidak bisa melakukan maksiat dan tidak dapat berbuat kekufuran, tetapi mungkin akan melakukan yang demikian setelah masa kanak-kanak. Jadi yang diucapkan adalah anak yang maksiat, namun yang dimaksud adalah orang dewasa yang maksiat. Hubungannya adalah i’tibar ma yakunu (mempertimbangkan sesuatu yang akan terjadi).
Contoh hubungan al-mahally yaitu,
فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ، سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ (العلق: 17-18)
“maka biarkan dia memanggil golongannya (untuk menolongnya),
kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah. (QS. Al-Alaq; 17-18)”
Makna kata nadi yang lumrah dipakai adalah tempat berkumpul. Akan tetapi yang dimaksud dengannya adalah orang-orang yang ada di tempat yang sama, siapapun dia, keluarga, pembantunya, teman dan yang lain. Jadi, kata nadi dalam ayat ini adalah majaz, yaitu menyebutkan tempat, namun yang dimaksud adalah orang yang menempatinya. Hubungannya adalah al-mahally.
Untuk hubungan al-haliyah seperti contoh berikut,
Makna kata nadi yang lumrah dipakai adalah tempat berkumpul. Akan tetapi yang dimaksud dengannya adalah orang-orang yang ada di tempat yang sama, siapapun dia, keluarga, pembantunya, teman dan yang lain. Jadi, kata nadi dalam ayat ini adalah majaz, yaitu menyebutkan tempat, namun yang dimaksud adalah orang yang menempatinya. Hubungannya adalah al-mahally.
Untuk hubungan al-haliyah seperti contoh berikut,
إِنَّ الأبْرَارَ لَفِي نَعِيم (المطفّفين: 22)
“Sesungguhnya orang-orang yang
berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga). (QS.
Al-Muthaffifin: 22)”
Kenikmatan itu tidak dapat ditempati oleh manusia karena kenikmatan itu sesuatu yang bersifat abstrak, yang bisa ditempati adalah tempat kenikmatan itu. Maka penggunaan kata kenikmatan untuk menyatakan suatu tempat adalah majaz, yaitu menyebutkan suatu hal yang menempati suatu tempat, namun yang dimaksudkan adalah tempatnya itu. Jadi, hubungannya adalah al-haliyah.[4]
Berbeda dengan majaz mursal, majaz isti’arah adalah jenis majaz yang ‘alaqahnya (hubungan antara makna hakiki dan majazi) karena danya kesrupaan. Isti’arah juga diistilahkan dengan tasybih yang salah satu tharafnya (musyabah {musta’ar lah} atau musyabah bih {musta’ar minhu}) dibuang.[5]
Isti’arah ini banyak macamnya. Diantaranya:
1) Berdasarkan penyebutan musta’ar lah dan musta’ar minhu-nya dibagi menjadi dua, Tasrihiyah (isti’arah yang musta’ar minhu-nya disebutkan) dan makniyah (isti’arah yang musta’ar minhu-nya dibuang dan sebagai isyarat disebutkan salah satu sifat khasnya.
2) Berdasarkan lafad yang dijadikan isti’arah, maka majaz ini dibagi menjadi dua, isti’arah ashliyah apabila musta’ar (lafad yang dijadikan isti’arah) berupa isim jamid (bukan kata kerja atau yang musytaq darinya) dan isti’arah taba’iyah apabila musta’ar berupa fi’il atau isim yang musytaq.
3) Berdasarkan persambungan dan hubungan dengan kata-kata sesudahnya, majaz isti’arah ada tiga, isti’arah murasysyahah yaitu isti’arah yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musta’ar minhu. Kedua, isti’arah mujarradah yaitu isti’arah yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musta’ar lah. Ketiga adalah isti’arah muthalaqah yaitu isti’arah yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musta’ar minhu maupun musta’ar lah-nya.
Dan masih banyak lagi pembagian majaz isti’arah ini.[6]
Sedangkan untuk majaz murakkab, baik itu murakkab mursal maupun murakkab isti’arah itu pengertiannya sama dengan masing-masing majaz mufrad-nya hanya saja dalam majaz murakkab bentuk majaznya tidak cuma satu melainkan banyak (terdapat dalam satu kalimat).[7]
Kenikmatan itu tidak dapat ditempati oleh manusia karena kenikmatan itu sesuatu yang bersifat abstrak, yang bisa ditempati adalah tempat kenikmatan itu. Maka penggunaan kata kenikmatan untuk menyatakan suatu tempat adalah majaz, yaitu menyebutkan suatu hal yang menempati suatu tempat, namun yang dimaksudkan adalah tempatnya itu. Jadi, hubungannya adalah al-haliyah.[4]
Berbeda dengan majaz mursal, majaz isti’arah adalah jenis majaz yang ‘alaqahnya (hubungan antara makna hakiki dan majazi) karena danya kesrupaan. Isti’arah juga diistilahkan dengan tasybih yang salah satu tharafnya (musyabah {musta’ar lah} atau musyabah bih {musta’ar minhu}) dibuang.[5]
Isti’arah ini banyak macamnya. Diantaranya:
1) Berdasarkan penyebutan musta’ar lah dan musta’ar minhu-nya dibagi menjadi dua, Tasrihiyah (isti’arah yang musta’ar minhu-nya disebutkan) dan makniyah (isti’arah yang musta’ar minhu-nya dibuang dan sebagai isyarat disebutkan salah satu sifat khasnya.
2) Berdasarkan lafad yang dijadikan isti’arah, maka majaz ini dibagi menjadi dua, isti’arah ashliyah apabila musta’ar (lafad yang dijadikan isti’arah) berupa isim jamid (bukan kata kerja atau yang musytaq darinya) dan isti’arah taba’iyah apabila musta’ar berupa fi’il atau isim yang musytaq.
3) Berdasarkan persambungan dan hubungan dengan kata-kata sesudahnya, majaz isti’arah ada tiga, isti’arah murasysyahah yaitu isti’arah yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musta’ar minhu. Kedua, isti’arah mujarradah yaitu isti’arah yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musta’ar lah. Ketiga adalah isti’arah muthalaqah yaitu isti’arah yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musta’ar minhu maupun musta’ar lah-nya.
Dan masih banyak lagi pembagian majaz isti’arah ini.[6]
Sedangkan untuk majaz murakkab, baik itu murakkab mursal maupun murakkab isti’arah itu pengertiannya sama dengan masing-masing majaz mufrad-nya hanya saja dalam majaz murakkab bentuk majaznya tidak cuma satu melainkan banyak (terdapat dalam satu kalimat).[7]
No comments:
Post a Comment